Pelarian

Oleh: Sonia Fitri*

Sumber Gambar: https://pixabay.com/illustrations/fitness-spring-jogging-shoes-8606427/

Sadar atau tidak, orang zaman sekarang gemar lari-larian. Aktivitas semacam ini bukan lagi bertujuan untuk olahraga fisik yang menyehatkan. Justru, berlari-lari menjadi andalan untuk menghindari ketidaknyamanan. Entah ini jadi kabar baik atau buruk, obyek pelarian di masa kini makin banyak, kompleks dan mudah dijangkau. Terutama media sosial. Ada yang sudah “ngeh” tulisan ini mau di bawa ke mana?

“Lari dari Kenyataan” awalnya saya pikir adalah suatu hal yang pengecut dan sama sekali tidak keren. Cara-cara semacam ini biasanya dilakukan oleh orang-orang yang bermental lemah, memilih untuk menyerah sebelum bertarung. Tapi rupanya aktivitas semacam ini bisa kita lakukan setiap saat, bahkan kita pun tak sadar sudah melakukan pelarian setiap waktu.

Lantas apa salahnya berlari-lari dari kenyataan? Baik-kah melanjutkan kebiasaan semacam ini? Sehat-kah kita untuk mengandalkan gawai untuk mengejar kesenangan sesaat? Kita akan membahasnya segera. Tapi untuk kali ini, mari kita sadari dulu, apakah kita memang gemar berlari, dan mengapa kita sudi berlelah hati untuk mengejar halusinasi tanpa solusi.

Berdasarkan tujuannya, setidaknya ada beberapa tipe Pelarian paling populer di era digital yang sungguh menyeramkan ini.

1. Pelarian untuk Mengusir Bosan

Bosan adalah kewajaran hidup. Karena bosan, kita punya jeda untuk berkaca dan menata diri, hingga melihat situasi dengan lebih rapi. Tapi era digital tak membuat kita terampil menanti dan mengelola rasa bosan. Semua sistem dirancang serba cepat. Kita tak perlu bosan untuk berlama-lama baca buku di perpustakaan. Toh segala pengetahuan bisa didapatkan secara instan lewat mesin pencari google dan Chat GPT.

Contoh lain, kita tak perlu bosan mengantre makanan atau tempat hiburan. Booking online membuat kita bisa dapat apa yang diminta tanpa harus menunggu lama. Ada banyak hal di keseharian yang membuat kita tak perlu merasa bosan. Semua sistem serba cepat membuat kita terbiasa tergesa, enggan bosan, tidak sabaran.

Ini juga berlaku untuk kebiasaan kita yang terbiasa menghindari bosan dengan mengakses media sosial setiap waktu.

Ketimbang berinteraksi dengan orang yang nyata, kita terbiasa untuk tertunduk dan terpaku menyimak ragam konten sekilas-sekilas di tiktok dan instagram. Enggan bosan, ada banyak hiburan di sana, bukan?

Ketimbang berdoa dan evaluasi diri sebelum terlelap, kita menanti kantuk tanpa bosan dengan scroll facebook dan twitter. Ada wanita imut-imut yang joget velocity, ada juga orang-orang kocak yang membuat kekonyolan. Ada-ada saja orang gila berlaku di media sosial. Pembuat konten sibuk mengejar view dan viral. Penyimaknya candu, khawatir tak update berita viral. Mengusir bosan, mudah bukan?

2. Pelarian untuk Melupakan Masalah

Masalah juga bagian dari hidup. Kata orang bijak, masalah yang datang membuka peluang kita untuk lebih pintar dan bijak. Tak perlu sepakat, karena siapa yang tahu pasti tentang apa dan bagaimana seseorang naik derajat. Yang jelas, masalah hidup memang tak terhindarkan dari waktu ke waktu. Pilihannya, apakah kita mau menghadapinya, atau berlari lagi untuk menyambut masalah baru?

Ringan beratnya masalah tak bisa digeneralisasi. Mungkin anak-anak yang menghadapi masalah perebutan mainan dengan temannya tampak sepele bagi orang dewasa. Padahal menurut mereka, itu adalah hal yang sangat serius dan super dramatis.

Di sisi lain, kita melihat orang dengan kekurangan harta ekstrem, atau kecacatan fisik yang merepotkan. Kita melihat mereka hidup dengan kesulitan, bahkan membayangkan mereka punya masalah hidup berat. Padahal siapa yang tahu? Kekuatan batin, keterampilan untuk pasrah dan kecerdasan untuk bersyukur membuat orang-orang sengsara itu justru merasa selalu mudah dan tenang kesehariannya.

Lantas apa kabar dengan kita? Tugas bahasa inggris dari guru yang judes membuat kita panik. Tapi ketimbang sulit-sulit buka kamus tebal–dan kita pun tak punya–kita bisa pakai google translate. Masalah selesai. Mudah bukan?

Hutang pinjol membelit. Yang diutangi mengejar tiada henti lewat WhatsApp dan telepon. Pusing tujuh keliling? Sembunyi saja. Masuk kamar, matikan lampu. Buka Game Online Mobile Legend dan sebangsanya. Main seharian sampai malam berganti pagi. Mudah bukan?

Sulit dapat kerja, dianggap beban keluarga. Sedih dan merasa direndahkan, itu satu hal yang jadi masalah, dan idealnya bisa diterima dan dihadapi dengan elegan. Tapi lagi-lagi, lebih mudah untuk berlari-lari dengan menonton Youtube seharian, bukan?

Ribut sama pasangan yang protes soal judi online. Tak perlu repot-repot memahami, apalagi memperbaiki situasi. Cukup pergi saja ke tempat sunyi. Selama sambungan listrik masih tersedia, gawai terkoneksi internet, kita bisa berlari tiada henti, mengejar ketenangan dan kesenangan setiap waktu. Mudah bukan?

Pertanyaannya, apakah pelarian sebagaimana dicontohkan di atas membuat kita jadi pintar? Apakah hutang jadi lunas? Apakah pekerjaan datang begitu saja? Apakah interaksi dengan pasangan jadi membaik? Entahlah, saya pun heran, mengapa kita mau-maunya sepakat untuk berlari-lari dan membodohi diri sendiri.

Masalah hidup begitu kompleks dan personal untuk setiap orang. Sebelum era digital menyerang, orang-orang cari “orang pintar” untuk pelarian. Yang agak modern mencari ustad untuk ketenangan. Selebihnya, kita mengandalkan diri sendiri dan dukungan sekitar untuk mencari solusi nyata, bukan? Tapi ketika konten-konten digital menyerang, mengapa manusia menjadi semakin lemah dan hobi berlari-lari saja?

3. Pelarian untuk Reputasi

Di antara mereka yang gemar berlari-lari, tidak sedikit yang merasa sukses karena punya pekerjaan bagus dan finansial yang cukup. Orang-orang kelas menengah ini juga tak lepas dari jerat konten digital. Ketika kita sukses menempati predikat tertentu di masyarakat, kita bisa dengan mudah bertemu dengan orang satu profesi lewat gawai.

Sebut saja, profesi guru. Kita bisa tahu bahwa guru seharusnya berlaku begini dan begitu, atau mendapatkan hak seperti ini dan itu, lewat grup komunitas online dan konten terkait di media sosial. Tanpa kita mempertanyakan hal tersebut keliru atau tidak, sesuatu yang disepakati mayoritas, itulah kebenaran.

Ini berlaku untuk profesi dan posisi apapun, termasuk ibu rumah tangga, kepala rumah tangga, gen x, y, z dan bla-bla-bla. Riuh sekali semua orang berebut reputasi dan kepentingan. Kita menyebut diri sebagai guru, ustad, konten kreator, petani, pegawai negeri, dan yang lainnya, lalu pamer-pamer di media sosial dalam bentuk status dan postingan.

Semua orang maya harus tahu peran kita di dunia ini. Semua harus tahu quotes keren kita, dan semua preferensi hidup kita yang mungkin tidak benar-benar begitu. Kita jadi palsu, yang penting keren. Di sisi lain, cara pandang kita untuk melihat masalah jadi blur, sebab kita cenderung membela reputasi mayoritas ketimbang menyelesaikan masalah diri yang kerap bersembunyi di balik profesi. Kita berlari untuk reputasi yang seharusnya dirintis dengan khidmat. Mudah bukan?

4. Pelarian untuk Validasi

Era digital memfasilitasi ragam konten kontroversi. Sebagai bagian dari pengisi dan penyimak konten itu, kita bisa berdiri di sisi manapun. Bahkan bisa menegaskan hitam dengan ekstrem, atau mengungkapkan putih dengan sarkastik. Terbiasa berlari untuk pembenaran diri membuat kita sulit untuk berdiri di pertengahan dan mencari damai. Sungguh melelahkan, tapi kita mau-mau saja tenggelam dalam kobaran api perjuangan blur.

Pada akhirnya, semua kembali pada pilihan kita sendiri. Mencari pelarian di zaman sekarang sangatlah mudah. Di sisi lain, menghadapi masalah bukanlah pilihan, melainkan keharusan. Jika terus-menerus berlari, siap-siap saja bunuh diri. Cepat atau lambat, kita akan kehilangan kesadaran diri, lalu di akhir cerita, kita juga bisa kehilangan nyawa sendiri.

Tulisan ini sejatinya adalah sarana kontemplasi. Pelaku utama dari segala jenis pelarian ini adalah diri penulis sendiri. Jadi, semoga kita bisa terus berupaya untuk jujur diri, lalu mau memaksakan diri untuk tak berlari. Bosan dan pusing, mari hadapi saja. Jangan khawatir, sebab semesta selalu akan mendukung kesejahteraan orang-orang yang berani.

*Penulis adalah seseorang yang sedang berupaya keras untuk pulih dari hobi “berlari-lari” yang tak menyehatkan. Ditulis pada dini hari, 21 April 2025.

One comment

Leave a Reply to nuygukplolCancel Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *