URGENSI PENEGAKKAN KODE ETIK PROFESI GURU (Lolos Validasi Sistem RGTK)

Aksi Nyata Promosi dan Sosialisasi Kode Etik Guru di Lingkungan SMK Al-Musri Katomas Subang Sebagai Bagian dari Jurnal Pembelajaran Modul III (Filosofi Pendidikan dan Pendidikan Nilai)

Oleh: Sonia Fitri*

BAGIAN I

MENGURAIKAN URGENSI PENEGAKKAN KODE ETIK GURU

Bagi saya pribadi, kesan pertama ketika mendengar “Kode Etik Guru” adalah asing, mengawang-awang dan tidak familiar. Sekian tahun melanglang buana di dunia pendidikan, saya rupanya baru tahu, bahwa rupanya ada kode etik guru, dan sebagai bagian dari pekerjaan profesional, kita harus menjalankannya secara maksimal. Pada jurnal kali ini, saya berfokus mengerjakan instruksi aksi nyata perihal urgensi penegakkan kode etik guru, serta sekilas berbagi pengalaman tentang “Profesi Guru” dalam sudut pandang pribadi.

1.1. Mengapa Memilih Profesi Guru?

Guru merupakan profesi yang istimewa, unik, dan kerap kali kontroversial. Istimewa, sebab tak seperti profesi lainnya yang memiliki jam kerja tertentu, justru beban pekerjaan guru nyaris sepanjang hayat. Ia punya jam pelajaran di sekolah, tapi predikat “Guru” terus disandang selama 24 jam dengan tuntutan kode etik dan keteladanan. 

Unik, karena gaji guru rupanya sudah sekian lama tak selalu sesuai, bahkan jauh dari beban ideal profesinya.  Minimnya penghasilan guru seperti kondisi yang “tetap”, bahkan terus menjadi pembahasan yang berbau politis, sementara makna dan rasa untuk profesi guru terus berubah, seiring waktu dan perkembangan budaya. 

Kontroversial, sebab peranannya yang terus-menerus menuntut kesempurnaan abstrak, sementara pada kenyataannya, guru hanyalah manusia biasa yang tak luput dari salah dan khilaf. Ketika seseorang terlibat pelanggaran moral dan etika, ini akan semakin buruk ketika ia menyandang predikat sebagai seorang guru.

Maka bagi saya pribadi, guru benar-benar sebuah profesi yang ajaib. Entah disadari atau tidak, guru menjadi pilihan utama bagi mereka yang sejak muda berminat dengan peran ideal sebagai “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” dan predikat “terhormat” di masyarakat. Mereka bukannya tak tahu, bahwa para guru pendatang baru bergaji super minim. Justru mereka rela untuk menempuh jalan yang panjang, makan waktu dan rigid untuk mendapatkan tunjangan profesi kelak. Tak mengherankan, peminat mahasiswa jurusan keguruan lumayan tinggi, bahkan dapat restu orang tua.

Di sisi lain, guru juga menjadi pilihan terakhir, atau justru pilihan karena keadaan, bagi kalangan praktisi dan ahli yang merasa sudah selesai (atau boleh dikatakan “lelah”) melanglang buana di dunia kerja profesional. Tak heran, banyak guru yang dianggap “salah jurusan” karena berkuliah bukan di keguruan. Mereka pada awalnya menjadi guru untuk mata pelajaran tertentu karena diminta, atau karena tidak ada pilihan lain. Karena sudah telanjur menjalankan rutinitas ini, maka mereka pun bersedia menempuh pendidikan lanjutan untuk mendapatkan sertifikat guru profesional. 

Saya mungkin termasuk ke dalam kelompok guru semacam ini. Pada awalnya, saya berkuliah di jurusan Ilmu Komunikasi Jurnalistik Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Berbekal kepercayaan diri dan motivasi dari orang tua, saya memang cukup percaya diri dengan kemampuan menulis dan merasa bisa menangani berbagai tugas kejurnalistikan. Selepas kuliah, saya segera diterima sebagai reporter di salah satu media nasional di Ibu Kota. 

Pada masa itu, semuanya tampak normal dan lancar-lancar saja. Selama sekitar dua tahun lebih, saya menjalani profesi sebagai reporter untuk desk agama, ekonomi dan bisnis. Saya juga kerap mendapat job untuk menggarap artikel untuk rubrik khusus, dan tugas kewartawanan lainnya. Tapi kemudian saya menghadapi situasi dilematis dalam rangka pencarian jati diri khas “anak muda”. Saya merasa profesi ini tidak cocok dan mengganggu kehidupan pribadi saya. Karena alasan personal inilah, saya pun memutuskan untuk resign. 

Tak lantas memasuki dunia keguruan, saya menempuh pendidikan keahlian bahasa inggris non formal di Kampung Inggris Pare Kediri, Jawa Timur, selepas memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai wartawan. Gambaran cita-cita dadakan di masa depan tak lantas abstrak. Saya berencana menempuh studi ke luar negeri. Tapi jika gagal, saya ingin memanfaatkan portofolio dan pengalaman kerja saya untuk masuk lagi ke dunia kerja bidang promosi dan hubungan masyarakat. 

Apakah gagal? Ya, rencana pertama untuk berkuliah di luar negeri gagal total. Karena satu dan kendala lainnya, saya merasa kesempatan untuk mengambil S2 di luar negeri cukup membingungkan, bahkan mustahil. Lantas saya pun putar haluan, menjadi penulis hantu untuk sejumlah perusahaan produsen konten, hingga bergabung menjadi tim promosi di salah satu perusahaan hijab di Bandung. Pada masa itu, saya yang rupanya memang tak jauh-jauh dari dunia kepenulisan. Saya juga sempat mengelola blog dan berharap dapat adsense. Tapi ke-gaptek-an dan inkonsistensi dalam membuat konten membuat agenda tersebut pun gagal total. 

Kehidupan berlanjut dan mengalir begitu saja, hingga saya kemudian menikah dengan pria yang nantinya membawa saya menjadi seorang guru. Suami merupakan seorang murid di salah satu pesantren di Pagaden, Subang. Guru sang suami kemudian meminta saya untuk menjadi bagian dari pengajar formal di sana, karena memang kondisinya sedang kekurangan guru. 

Tanpa pikir panjang, saya pun menerima tawaran tersebut. Saya mengambil mata pelajaran Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Dua mata pelajaran itu menurut saya memang cocok dan saya mampu, karena Bahasa Indonesia berkaitan dengan dunia Jurnalistik, sementara Bahasa Inggris berkaitan dengan skill yang memang sudah saya miliki ketika menempuh persiapan studi luar negeri dan gagal. 

Begitulah jalan panjang saya hingga akhirnya menjadi seorang guru. Ia pada awalnya bukan pilihan dan saya pun sama sekali tak terpikirkan untuk masuk ke dunia keguruan. Niat awal saya adalah ingin berbagi pengetahuan dan keahlian kepada para murid, karena begitulah seharusnya seorang guru berlaku. Tapi seiring waktu, saya pun semakin paham tentang apa dan bagaimana seorang guru, serta kondisinya yang serba dilematis. 

Seperti yang telah saya uraikan di atas, profesi ini bagi saya istimewa, unik dan juga kontroversial. Tapi kita yang sekarang berada di dalamnya, mau tidak mau, harus terikat pada Kode Etik yang memang sudah ditetapkan sesuai dengan aturan perundang-undangan. Idelnya, kode etik bertujuan untuk memperkuat martabat guru dalam penyelenggaraan pendidikan yang inklusif, berorientasi nilai dan berkualitas. Lebih terperinci tentang kode etik guru akan hadir pada pembahasan berikutnya. 

1.2. Apa Saja yang Saya Pelajari Perihal Kode Etik Guru Pada Modul III PPG?

Sudah saya sebutkan di awal, bahwa saya pada awalnya merasa asing dan menganggap kode etik guru sebagai hal yang semu dan mengawang-awang. Tapi hasil pembelajaran pada Modul III perkuliahan membuat saya mengetahui berbagai hal terperinci, bahkan metodologi pemecahan masalah terbaik terkait studi kasus pelanggaran kode etik tersebut. Berikut ini beberapa uraian terkait pembelajaran kode etik profesi guru:

  • Urgensi Pelaksanaan Kode Etik Guru

Pengetahuan dan pelaksanaan kode etik guru sangat penting bagi setiap guru di tingkat manapun. Pelaksanaannya bertujuan menjamin integritas guru di hadapan peserta didik, lembaga dan di masyarakat. Kepatuhan terhadap kode etik ini juga bertujuan untuk membangun kepercayaan publik, mengatur perilaku guru secara profesional, serta mencegah berbagai bentuk penyelewengan atas profesi mulia ini.

  • Analisis Nilai dalam Kode Etik Gutu

Secara umum, terdapat tiga kelompok besar prinsip etika moral yang terdapat dalam kode etik guru. Di antaranya etika terhadap ilmu pengetahuan, etika terhadap peserta didik, serta etika terhadap profesi guru itu sendiri. 

Untuk etika yang pertama, yakni ilmu pengetahuan, setiap guru harus berposisi, bertindak dan memiliki pola pikir akademik. Guru harus memiliki integritas intelektual, sehingga bisa menghormati dan mengamalkan hakikat ilmu, cara mendapatkan ilmu dan menerapkan metodologi penelitian yang sesuai. Guru juga harus secara tegas menolak segala bentuk praktik kejahatan intelektual, termasuk praktik plagiasi.

Di sisi lain, guru juga harus memiliki integritas kejuruan, di mana ia harus peduli dengan pembelakan dan penguatan skill (kemampuan) para peserta didik sesuai kebutuhannya. Guru juga harus memiliki keberanian moral di mana ia konsisten mengajar dengan cara yang benar, meski cara tersebut tidak populer. 

Etika yang kedua, yakni terhadap peserta didik. Guru dalam menjalankan profesinya harus memiliki sikap netral alias tidak berpihak (impartiality), mendahulukan kepentingan orang lain (altruisme), memiliki wawasan kemanusiaan (human insight) dan memiliki tanggung jawab pengaruh (The Responsibility of Influence). Guru harus sadar diri bahwa ia adalah teladan dan menjadi referensi bagi peserta didik dalam berperilaku. Karena itulah, menjaga sikap dan terus menambah ilmu dan wawasan merupakan pekerjaan sepanjang hayat. 

Etika yang ketiga, yakni terhadap profesi. Etika tersebut meliputi kerendahan hati (humility) di mana guru tidak boleh merasa tinggi dan lebih pintar dibanding yang lainnya. Meskipun pada faktanya ia merupakan sumber ilmu, tapi sikap rendah hati akan membuat transfer ilmu kepada peserta didik lebih mudah dan efektif. Sikap penting yang selanjutnya adalah kolegialitas, kemitraan serta tanggung jawab dan aspirasi profesi. 

  • Strategi Aplikasi Kode etik Guru Secara Konsisten

Aplikasi kode etik guru harus dimulai dari diri sendiri, lalu terasa di ruang kelas dan lingkungan sekolah. Ketika guru patuh dan menjalankan kode etik secara konsisten, maka pengaruh keteladanan guru juga akan sampai sebagai bagian dari inspirasi positif di lingkungan. Untuk penjelasan lebih lanjut akan saya bahas di bagian II jurnal ini.

  • Penerapan Aksi Nyata Sosialisasi Kode Etik Guru

Aksi nyata sosialisasi kode etik guru dilakukan dengan beberapa cara. Di antaranya membuka kelas untuk saling berbagi ilmu dan wawasan kepada teman sejawat. Guru juga bisa membuat poster dan konten kreatif yang bisa disebarkan secara manual (diprint dan ditempel di lingkungan sekolah) atau secara digital (posting poster di media sosial atau website).

BAGIAN II

RANCANGAN PEMBELAJARAN UNTUK SOSIALISASI 

PENEGAKKAN KODE ETIK GURU

2.1. Rancangan Pembelajaran Kode Etik Guru Melalui Pendekatan Pendidikan Nilai

Ini merupakan bagian dari aksi nyata, di mana saya merancang pembelajaran yang memuat materi tentang kode etik guru. Berikut ini uraian tentang langkah-langkah rencana pembelajarannya:

Metode Pendekatan : Pendidikan Nilai

Topik : Urgensi Penegakkan Kode Etik Guru

Target Peserta : Teman Sejawat

Durasi : @80 Menit

Sumber Referensi pembelajaran menggunakan Buku Ajar Filosofi Pendidikan dan Pendidikan Nilai PPG Bagi Guru Tertentu Tahun 2025.

2.2. Tujuan Pembelajaran

Setelah mengikuti kegiatan ini, teman sejawat diharapkan dapat; 

  • Mengidentifikasi dan menjelaskan pentingnya kode etik guru
  • Menganalisis nilai-nilai yang terkandung dalam kode etik guru
  • Menerapkan kode etik guru secara konsisten
  • Merancang aksi nyata untuk menyebarkan semangat dan pelaksanaan kode etik guru melalui media konvensional maupun digital.

2.3. Materi Pembelajaran

Berikut ini poin-poin yang akan saya sampaikan terkait materi pembelajaran: 

  • Makna Kode Etik Guru menggunakan strategi pendekatan nilai. Hal ini dimulai dengan menampilkan berita pelanggaran kode etik guru untuk pemantik. Nantinya guru berdiskusi dan menjelaskan makna dan prinsip kode etik guru. 
  • Prinsip Dasar Etika Profesi akan disampaikan dengan diskusi kelompok menggunakan refleksi yang ringkas, relevan, reaksi, rencana dan revisi (5R) terhadap studi kasus. Kelas juga akan diarahkan untuk bermain peran (role play) untuk bisa mengambil pelajaran tentang kode etik guru dalam kaitannya dengan profesionalisme.
  • Relevansi dengan Pendidikan Nilai akan diisi dengan refleksi tiap individu serta penguatan pesan dan materi.
  • Studi Kasus Pelanggaran Etika disajikan dalam bentuk penayangan video youtube dan power point. 
  • Praktik dan aksi nyata, para guru menggunakan media canva untuk bekerja sama membuat poster dan infografis yang memuat tentang Kode Etik profesi Guru.

BAGIAN III

REFLEKSI DAN UMPAN BALIK 

3.1. Refleksi

Bagi saya, pengenalan, pemaknaan dan pelaksanaan kode etik profesi guru bukanlah hal yang instan. Saya bisa saja mengaku-aku sudah menjadi guru teladan yang profesional. Tapi nyatanya, konsistensi untuk melaksanakan kode etik dan menjalankan tugas keguruan merupakan tugas yang berlangsung sepanjang hayat. 

Mengacu pada rancangan aksi nyata, pelaksanaan kode etik bisa menggunakan prinsip diagram konsentris aksi nyata berjenjang. Di mana, pelaksanaan kode etik harus dimulai dari diri sendiri, di mana guru harus selalu mawas diri, belajar tiada henti, dan sadar akan posisinya sebagai teladan bagi para murid. Sangat penting bagi guru untuk selalu melakukan refleksi rutin, menjaga ucapan dan perilakunya, serta menegakkan disiplin pribadi.

Selanjutnya, lapisan tengah diagram mengaku pada penerapan kode etik dalam menghadapi kasus-kasus di lingkungan sekolah. Guru berperan membimbing etika murid, memberikan perhatian dan ilmu tanpa pilih kasih, serta menegakkan kesepakatan kelas secara adil. 

Ketika pelaksanaan dari diri sendiri dan sekolah berlangsung efektif dan konsisten, maka dampaknya akan secara langsung terasa bagi reputasi sekolah. Guru dengan keteladanannya harus sudi bergandengan tangan dengan rekan sejawat lainnya untuk bergerak bersama melaksanakan kode etik profesi guru secara jujur dan konsisten. 

Meski begitu, pelaksanaan kode etik profesi guru bukannya tanpa hambatan. beberapa tantangan yang harus dihadapi di antaranya pertentangan antar prinsip dan etika. Sebagai contoh, ketika guru harus bersikap altruisme, mendahulukan kepentingan orang lain ketimbang pribadi, maka guru mungkin akan selalu berbenturan dengan realita bahwa ia juga punya kepentingan pribadi yang harus diperhatikan, guna merawat kesehatan sosial dan emosionalnya. 

Tantangan berikutnya adalah tuntutan profesionalitas yang tinggi, tidak sebanding dengan ketersediaan waktu dan tenaga guru. Penilaian yang subjektif terhadap individu juga membuka peluang bagi guru untuk bersikap pilih kasih kepada murid, tanpa ia sadari. Karena itulah, sikap mawas diri dan sinergi dengan trisentra pendidikan sangat penting agar praktik evaluasi dan refleksi berlangsung dengan cermat dan adil. 

3.2. Umpan Balik dari Teman Sejawat

Nama GuruJabatanKomentar
Gugun GunawanGuru PAIKode etik guru memang berat, tapi ini seperti bimbingan dan panduan untuk menjadi manusia yang baik sepanjang hayat. Semangat ya, para guru Indonesia!
Siti RosihohGuru Bahasa IndonesiaKode etik sudah ada sejak lama, tapi memang tidak populer karena memang tuntutan guru sudah tertanam di masyarakat, di mana guru selalu tertuntut untuk menjadi manusia sempurna. Terlepas dari itu semua, semoga apra guru bisa menjaga kesehatan mentalnya, agar bisa menghadapi para murid dengan waras dan sesuai dengan hati nuraninya.
Iin Inarotul JalalahGuru IPSPengetahuan terhadap kode etik guru akan menjadi acuan untuk saya pribadi agar bisa lebih mawas diri. Saling support antar guru juga sangat penting, Guru harus saling mendukung, saling mengingatkan, bukannya saling menjatuhkan.

*Penulis adalah guru di SMP Plus Darunnazah Sumbersari Pagaden Subang dan merupakan Peserta PPG Dalam Jabatan Batch I 2025 LPTK Unesa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *