MENGUPAYAKAN SCHOOL WELL-BEING DENGAN MEMBUAT JURNAL EMOSI SISWA (Lolos Validasi Sistem RGTK)

Aksi Nyata Rangkuman Topik “School Well-Being” untuk peningkatan kualitas pembelajaran di SMK Al-Musri Katomas Subang pada Modul Pembelajaran Sosial Emosional (Modul II)

Oleh: Sonia Fitri*

BAGIAN I

URGENSI AKSI NYATA SCHOOL WELL-BEING MELALUI PEMBUATAN JURNAL EMOSI SISWA

Materi School Well-Being menurut saya sangat menarik di antara serangkaian topik pembelajaran pada Modul II PPG 2025 berkaitan dengan Pembelajaran Sosial Emosional. Bagi saya, materi ini mewakili upaya dari semua elemen pendidikan untuk menetapkan fondasi sekolah yang sejahtera. Karena itulah, saya memilih aksi nyata “Topik 4 G Rangkuman School Well-Being” untuk Jurnal Pembelajaran Modul II ini. 

1.1. Apa dan Mengapa School Well-Being?

Kritik untuk dunia pendidikan formal begitu tajam dan menghujam. Beragam konten media sosial memaparkan sejumlah fakta miris tentang bagaimana kualitas pendidikan di negeri ini harus banyak perbaikan. Sebut saja sejumlah kasus kenakalan anak dan remaja yang bertebaran dan membuat kita kompak mengelus dada. Belum lagi aksi tawuran, perundungan, pencurian, pembangkangan dan masih banyak lagi. 

Di sisi lain, para peserta didik juga dianggap mengalami penurunan kualitas dalam aspek akademis. Beredar anggapan liar yang menyebut sekolah hanya menjadi bagian dari rutinitas untuk menghabiskan masa muda. Anak berangkat ke sekolah, tapi tak mendapatkan tujuan pendidikan di antaranya menambah ilmu dan wawasan. Sejumlah studi juga menunjukkan bahwa kemampuan literatur dan numerisasi siswa di sejumlah daaerah rendah, bahkan jauh dari angka ideal.

Kegelisahan sosial tentang buruknya dunia pendidikan bahkan membuat salah satu pejabat (Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi) ambil kebijakan cepat. Pada awal kepemimpinannya, beliau menetapkan kebijakan untuk mengirim siswa bermasalah ke barak militer. Para simpatisan sepakat, meski juga ramai kritikan. Tapi beberapa konten yang ia siarkan menunjukkan efektivitas dari kebijakan tersebut dalam mengubah perilaku siswa.

Tentu saja beragam fakta dan opini yang beredar tak boleh begitu saja diabaikan. Para pegiat pendidikan, termasuk guru, harus sigap berbenah dan melakukan aksi nyata, bukannya sekadar mengkaji teori atau melakukan dokumentasi formalitas yang palsu. Pemilihan aksi nyata School Well-Being menjadi salah satu alasan kuat saya, merespons sejumlah permasalahn pendidikan yang kompleks dan memang nyata adanya.

School Well-Being atau sebut saja Sekolah Sejahtera merupakan fondasi untuk mewujudkan lingkungan sekolah yang inklusif dan sehat. Hal ini sangat penting agar posisi sekolah bisa kembali, atau konsisten, sebagai wadah siswa untuk mendapatkan ilmu dan wawasan yang berguna, hingga mendukung perkembangan sosial dan emosional siswa. 

Berikut ini beberapa poin penting seputar School Well-Being sebagai bagian dari pembelajaran Sosial dan Emosional di sekolah: 

  • School Well-Being Sebagai Bagian dari Pendidikan Sosial Emosional

School Well-Being mencakup sejumlah aspek yang berkaitan dengan pendidikan sosial emosional, di antaranya mengupayakan rasa aman dan nyaman bagi peserta didik selama menjalankan kegiatan di dalam kelas maupun di lingkungan sekolah.

  • Nuansa Positif dalam School Well-being

Membangun nuansa yang serba positif dalam pembelajaran di sekolah, sehingga siswa termotivasi untuk berinteraksi dengan baik dengan seluruh warga sekolah, termasuk mampu mengelola emosi, menyelesaikan konflik hingga mengambil keputusan yang bertanggung jawab.

  • Penguatan P5

School Well-Being merupakan bagian penting yang mendukung praktik Penguatan Profil Pelajar Pancasila. Dalam praktiknya, konsep ini mendorong siswa untuk saling memahami satu sama lain, meningkatkan rasa empati dan kemandirian, serta menguatkan praktik gotong royong.

  • Empat Dimensi School Well-Being

Pelaksanaan School Well-being harus kompak dan melibatkan seluruh warga sekolah. Meski begitu, peran para pendidik cukup strategis dalam menerapkan pembelajaran ini di kelas. Segala perencanaan, proses, refleksi dan berbagai praktik baik di kelas seharusnya bisa menyentuh dimensi having, loving, being dan health.

Tentu saja segala hal penting yang berkaitan dengan landasan teori school well-being harus terealisasi secara nyata dan konsisten. Salah satu hal yang saya lakukan kepada para peserta didik adalah membuat Jurnal Emosi. Cara semacam ini membuat siswa bisa belajar menguraikan perasaannya dalam bentuk tulisan, serta percaya diri untuk mengutarakannya pada guru dan teman. Penjelasan lebih lanjut tentang aksi nyata ini saya uraikan di pembahasan berikutnya. 

1.2. Pembuatan Jurnal Emosi Siswa dan Kaitannya dengan Dimensi School Well-Being

Jurnal Emosi merupakan salah satu tugas harian siswa agar bisa mengutarakan perasaan dan kesehariannya melalui tulisan. Tugas tersebut terintegrasi dengan dimensi school well-being yakni having, loving, being dan health. Berikut ini penjelasan singkat dari tugas jurnal emosi dan kaitannya dengan 4 dimensi tersebut: 

  • Kondisi Sekolah (Having)

Jurnal emosi siswa akan membuat saya mengetahui bagaimana perasaan dan penilaian mereka tentang kondisi sekolah. Jika terindikasi ada ketidaknyamanan, maka ini harus menjadi bahan kajian dan evaluasi para tim guru dan warga sekolah. Siswa sudah seharusnya mendapatkan lingkungan belajar yang aman, nyaman dan bersih. 

  • Hubungan Sosial (Loving)

Penulisan jurnal emosi merupakan salah satu media komunikasi saya melalui tulisan dengan para peserta didik. Di sini, saya mencoba membangun hubungan yang intim dan intens, sehingga anak-anak bisa mengutarakan perasaan dan kesehariannya lewat tulisan, dan saya sebagai guru bisa menunjukkan kepedulian dan empati tanpa kepalsuan.

  • Pemenuhan Diri (Being)

Interaksi guru dan murid yang empati dan saling memahami sangat penting dalam rangka pemenuhan diri. Kegiatan belajar mengajar jangan sampai jadi proses yang membosankan dan menghabiskan waktu. Justru perasaan saling menghargai, menghormati dan percaya akan membuat proses pemenuhan diri menjadi optimal dan semua peserta pembelajaran bisa melaluinya dengan nyaman dan efektif.

  • Kesehatan (Health)

Emosi yang tersalurkan dengan wajar dan benar akan mendukung kesehatan fisik dan mental. Untuk guru, ini sangat penting untuk menghindari prasangka pada murid yang dianggap lalai atau membangkang. Bagi siswa, penyaluran emosi melalui jurnal juga penting agar ia tak menjadikan kehadiran guru sebagai beban apalagi ancaman. Proses saling berbagi emosi juga bisa mencegah praktik perundungan dan gangguan kesehatan lainnya. 

Berikut ini teknis dan tahapan pemberian tugas tersebut kepada siswa/i SMK Al Musri’ Katomas Subang: 

Tahap I: Membuat Buku Harian dari Barang Bekas

Di awal pertemuan, saya meminta para siswa untuk membuat buku harian mereka sendiri. Buku harian tersebut tidak boleh membeli dari toko buku, melainkan merakitnya dari kertas-kertas bekas yang memang berserakan di perpustakaan. Mereka juga harus membuat cover buku yang kreatif dan eksklusif. 

Hasil dari tugas tersebut cukup tak terduga. Saya mengapreasiasi para siswa yang mampu mengumpulkan kertas kosong yang sudah tak terpakai di sekitar mereka. Cover buku harian juga sangat bervariasi dan kreatif. Ada siswa yang menempel potongan gambar dan huruf menarik, membuat lukisan sendiri pada cover, ada pula yang menjadikan kain perca dan daun kering untuk hiasan sampul buku harian. 

Tugas tahap I ini merupakan fondasi, di mana siswa bisa memanfaatkan barang yang tadinya dianggap sampah, justru menjadi hal yang menarik dan berguna. Para siswa berkreasi dengan kreatif tanpa perlu melihat atau meniru hasil karya orang lain. Pada tugas ini, anak-anak berlatih untuk percaya diri, kreatif, serta menghargai lingkungan. 

Tahap II: Penulisan Jurnal Emosi Secara Konsisten

Setelah masing-masing siswa memiliki buku hariannya, mereka bisa menuliskan pengalaman apapun di dalamnya. Saya tidak membatasi untuk topik tertentu. Tapi saya memberikan pertanyaan kunci, di mana anak-anak setiap harinya harus menjawab pertanyaan tentang “Ilmu baru apa saja yang sudah saya dapatkan hari ini di sekolah?”. 

Pada tahap ini, pada awalnya tidak mudah untuk membuat para siswa berani menulis. Mereka awalnya banyak yang merasa kebingungan tentang apa yang harus ditulis dan bagaimana menuliskannya. Tidak sedikit juga yang merasa ragu jika hasil tulisan hariannya salah. Menyikapi hal ini, saya memberikan motivasi bahwa tidak ada yang benar maupun salah dalam tugas menulis jurnal emosi harian. Justru semua siswa bebas menuliskan tentang apapun, dengan gaya apapun, termasuk menuliskan tentang perasaan mereka. 

Proses memberikan motivasi tersebut berpegang pada 4 dimensi school well-being, yakni having, loving, being dan health. Tujuan pembuatan jurnal adalah agar anak-anak terampil mengutarakan perasaannaya di tempat yang tepat (Buku Harian). Dengan begitu, mereka tercegah dari penyaluran emosi yang meledak-ledak dan di tempat yang keliru. 

Tahap III: Evaluasi, Refleksi dan Komunikasi

Setelah melewati beberapa pertemuan, para siswa mulai mengunpulkan jurnalnya dan mempercayakan tulisan mereka untuk saya baca. Hal ini tentu saja sangat menggembirakan karena saya bisa membaca perasaan dan pengalaman mereka, sekaligus bisa mendukung perkembangan kreativitas siswa dalam menulis. 

Hasil tulisan mereka beragam, karena saya memang menekankan untuk tidak saling mencontek tulisan satu sama lain. Ada siswa yang menyuguhkan cerita fiksi berseri dalam jurnalnya, dan ia mengaku bahwa cerita tersebut mewakili perasaannya. Ada pula siswa yang menceritakan tentang kondisi keluarga dan bagaimana perasaannya ketika di rumah dan sekolah. Siswa lainnya bercerita tentang ilmu baru yang ia dapatkan selama belajar dengan saya. Ia membuat rangkuman akademik yang menarik dalam bentuk bagan dan mind mapping

Pengumpulan jurnal emosi dilakukan sepekan sekali. Jadi, ketika saya masuk kelas 4 kali dalam satu minggu, maka mereka bisa berbagi pengalaman dan ilmu baru dalam tulisannya pada pertemuan-pertemuan tersebut. Saya juga peduli dengan kualitas emosi saya agar selalu stabil. Maka dari itu, saya pun turut menuliskan perasaan pada buku masing-masing anak, sebagai respons dari cerita dan karya mereka. 

BAGIAN II

JAWABAN ATAS PERTANYAAN SEPUTAR PELAKSANAAN SCHOOL WELL-BEING DALAM PEMBELAJARAN SOSIAL EMOSIONAL

2.1. Bagaimana Anda sebagai guru mengelola emosi supaya bisa berpengaruh positif pada lingkungan pembelajaran Anda?

Ada beberapa hal yang saya pelajari dan berupaya saya terapkan agar bisa mengelola emosi dengan baik, bahkan bisa menyebarkan emosi positif di kelas dan lingkungan sekolah. Di antara beberapa cara tersebut adalah sebagai berikut:

  • Membangun Kesadaran Diri

Ini merupakan tahap awal yang penting, di mana saya harus sadar posisi, baik sebagai individu yang merdeka, maupun posisi saya sebagai guru yang seharusnya memberikan contoh baik untuk para peserta didik. Kesadaran diri akan membuat saya tidak berbuat seenaknya, apalagi mengikuti ego pribadi. 

Sebagai seorang pendidik, saya harus menjaga setiap langkah dan tindakan agar menjadi teladan. Kesadaran diri yang tepat akan menghasilkan sikap-sikap yang natural tanpa kepalsuan. Kesadaran tersebut juga akan selalu mendorong saya untuk selalu belajar dan mawas diri. 

  • Menerapkan Teknik Relaksasi

Ada banyak kejutan dalam hidup, termasuk datangnya masalah silih berganti. Guru juga manusia yang menghadapi berbagai masalah psikologis, finansial, dan yang lainnya. Tapi ketika saya harus berhadapan dengan siswa, atau berada di lingkungan sekolah, saya harus bisa bersikap profesional. 

Saya tidak perlu mengumumkan masalah saya secara terperinci kepada semua orang. Saya hanya perlu relaksasi dengan cara berdoa dan berdzikir. Dengan begitu, semoga Tuhan bisa memberikan ketenangan sehingga saya bisa menghadapi siswa dengan segala sikap positif. 

  • Konsisten dalam Refleksi Diri

Ini merupakan perilaku lanjutan ketika kita sudah terampil merelaksasi diri. Agenda refleksi harus dilakukan secara berkelanjutan, salah satunya dengan cara menuliskan jurnal emosi. Refleksi artinya berkaca diri, introspeksi, sehingga kita bisa terus menjaga kesadaran, menyalurkan emosi negatif di tempat yang tepat, dan selebihnya menyebarkan pikiran dan aksi yang positif di mana pun berada. 

  • Membangun Interaksi yang Positif di Lingkungan Kerja

Guru tak bekerja sendirian di sekolah. Bukan hanya murid, tapi juga ada rekan sejawat, kepala sekolah, pejabat lainnya dan seluruh warga sekolah. Membangun interaksi positif akan menciptakan hubungan yang harmonis dan nyaman serta meminimalisasi konflik di tempat kerja. Cara ini juga bisa membuka ruang kolaborasi seluas-luasnya demi kepentingan pembelajaran dan membangun School Well-Being yang konsisten. 

  • Membuat Batasan yang Jelas

Interaksi dengan semua warga sekolah harus diupayakan serba positif, tapi saya juga harus tetap menetapkan batasan yang jelas. Sebagai guru, saya tetap harus sadar posisi sehingga tidak membuka peluang hubungan dan interaksi yang melampaui batas dengan siswa maupun rekan kerja. Menetapkan batasan yang jelas akan mencegah diri kita dari interaksi di luar batas yang melanggar etika dan moral.

  • Saling Memberi Dukungan

Proses saling berbagi perasaan dalam jurnal merupakan salah satu cara efektif dalam menyalurkan emosi. Di sisi lain, kesempatan untuk saling memberi dukungan terbuka lebar. Ini sangat penting dan menjadi salah satu tujuan pembentukan School Well-being, di mana setiap orang merasa aman dan nyaman, serta mendapatkan perhatian yang wajar.

2.2. Bagaimana menciptakan lingkungan positif dengan kemampuan peserta didik yang beragam?

Setiap siswa datang dengan karakter dan potensi yang istimewa. Mereka secara fisik menggunakan seragam yang sama. Tapi pada dasarnya mereka semua adalah individu yang istimewa dan eksklusif. Sebagai guru, membangun sekolah sejahtera (school well-being) bisa diupayakan dengan berbagai cara. Salah satunya dengan menciptakan lingkungan positif. Berikut ini beberapa strategi dan aksi nyata yang bisa dilakukan dalam menangani realita kemampuan peserta didik yang bervariasi: 

  • Pembelajaran Berdiferensiasi

Guru harus panjang akal. Dalam setiap rencana dan pelaksanaan pembelajaran, guru bisa menyuguhkan pembelajaran dengan memperhatikan kebutuhan. minat dan gaya belajar siswa yang bervariasi. Pembelajaran semacam ini bisa diupayakan dengan membentuk kelompok belajar. Perangkat belajar jangan sampai monoton, tapi harus memanfaatkan sejumlah teknologi audio visual yang disampaikan secara menarik dan kreatif.

  • Pola Pikir Positif

Sikap dan pola pikir yang positif harus selalu terintegrasi dalam setiap proses pembelajaran. Apapun materinya, saya harus bisa menciptakan kondisi yang kondusif dan nyaman tanpa dibuat-buat. Guru juga harus mendahulukan prasangka positif dan diskusi bersama ketika menghadapi berbagai permasalahan di kelas.

  • Suasana Kelas Inklusif

Membangun suasana kelas yang inklusif sangat penting agar para siswa bisa merasa aman dan nyaman. Kondisi semacam ini harus didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai, serta sikap guru yang membawa suasana kelas aktif dan selalu positif. Perangkat kelas tidak harus mahal, tapi prioritaskan lingkungan yang bersih dan tidak ada potensi bahaya.

  • Menerapkan Metode Pembelajaran yang Relevan dan Bervariasi

Ini masih termasuk ke dalam pembelajaran berdiferensiasi. Tapi lebih spesifiknya, guru harus menguasai topik materi yang akan dibahas, serta menyuguhkannya dengan metode pembelajaran yang paling efektif. Misalnya, untuk topik A lebih relevan dengan cara diskusi, tapi untuk topik lainnya bisa diiringi dengan game dan praktik positif. 

  • Membangun Rasa Saling Percaya dan Empati

Salah satu yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah bagaimana guru dan murid berinteraksi secara positif, saling percaya dan empati. Penulisan jurnal emosi jadi salah satu upaya yang efektif untuk membangun rasa saling percaya dan empati tersebut. 

BAGIAN III

REFLEKSI DAN UMPAN BALIK

3.1. Refleksi

Aksi Nyata Rangkuman Topik “School Well-Being” untuk peningkatan kualitas pembelajaran di SMK Al-Musri Katomas Subang pada Modul Pembelajaran Sosial Emosional (Modul II) bagi saya cukup penting, bahkan istimewa. Guru harus memiliki pegangan, panduan, serta pengingat, agar ia bisa terus berupaya menjadi figur terbaik di sekolah dan lingkungan sekitar. Di sisi lain, semua peserta didik harus terpenuhi kebutuhannya dalam mendapatkan akses pendidikan yang aman, nyaman dan sejahtera. 

School Well-being meliputi beberapa dimensi dan aspek penting, di antaranya having, loving, being dan health. Tapi terlepas dari itu semua, yang terpenting adalah bagaimana semua warga sekolah, terutama guru, sudi untuk menerapkannya secara natural dan konsisten. Tidak sedikit guru yang enggan atau malas mengimplementasikannya, berujung pada maraknya berbagai masalah pendidikan yang ter-ekspose media. 

Penugasan siswa untuk membuat Jurnal Emosi merupakan salah satu langkah kongkrit untuk membangun hubungan saling percaya dan empati antara murid dan guru. Kegiatan ini juga membangun kreativitas dan rasa percaya diri siswa. Baik guru maupun siswa bahkan berkesempatan untuk menumpahkan perasaannya dalam media yang tepat, hingga mencegah praktik perundungan di sekolah. 

3.2. Umpan Balik dari Rekan Sejawat

Nama GuruJabatanKomentar
Dedih, S.Pd.IKepala SekolahDiskusi tentang School Well-Being sangat penting, tapi yang lebih penting adalah pelaksanaannya secara konsisten oleh semua perangkat. Ayo para rekan guru, semoga semua semangat mewujurkan sekolah yang sejahtera!
Nabila Raudhah, M.PdGuru MatematikaMatematika sering kali jadi mimpi buruk buat kebanyakan siswa. Saya terinspirasi dengan usulan membuat jurnal emosi, karena saya juga ingin berinteraksi dengan murid tanpa beban atau prasangka satu sama lain. Semoga semua guru bisa kompak menerapkan konsep school well-being dalam pembelajaran Sosial Emosional, ya…
ShofyurohmanGuru Bimbel DoaMendidik siswa dan santri butuh disiplin dan konsisten. Terkadang saya sering menunjukkan emosi negatif, terutama ketika berhadapan dengan siswa yang nakal. Tapi dari diskusi dengan Bu Fitri, saya jadi tahu bahwa guru harus terampil mengelola emosinya. Lagi pula, tidak ada siswa yang nakal. Yang ada hanyalah kesalahpahaman dan kita harus banyak-banyak introspeksi. Semoga ke depannya lebih baik lagi.

*Penulis adalah guru di SMP Plus Darunnazah Sumbersari, Pagaden Subang dan merupakan peserta PPG Dalam Jabatan Batch I 2025

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *